Kamis, 3 Juli 2025 09:39 WIB - Dilihat: 66
Palangka Raya – Seputarkalimantan.id
Di tengah gempuran gawai dan budaya instan, puluhan anak-anak sekolah dasar di Kota Palangka Raya justru memilih berdiri di panggung, bertutur dengan suara lantang dan mata berbinar, menyampaikan cerita rakyat Kalimantan Tengah sebuah warisan yang nyaris terlupakan.
Sebanyak 50 siswa SD/MI dari berbagai penjuru Kota Palangka Raya unjuk bakat dalam Lomba Bertutur Cerita Rakyat yang digelar Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispursip) Kota Palangka Raya, Rabu (2/7/2025).
Bukan sekadar kompetisi, kegiatan ini menjadi panggung untuk menyuarakan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam cerita-cerita rakyat: tentang kejujuran, keberanian, hormat kepada orang tua, hingga kepedulian pada alam.
“Kami ingin anak-anak bukan hanya pintar bicara, tetapi juga tumbuh dengan karakter yang kuat. Cerita rakyat adalah senjata lembut untuk menanamkan nilai-nilai itu sejak dini,” ujar Kepala Dispursip, Yohn Benhur G. Pangaribuan, atau yang akrab disapa Benhur.
Panggung Mini, Dampak Besar
Di balik raut gugup dan suara yang kadang terbata, tersimpan keberanian luar biasa. Para peserta berdiri sendiri di atas panggung, tanpa teks, hanya bermodalkan hafalan, ekspresi, dan semangat untuk menyampaikan pesan leluhur kepada generasinya.
Setiap anak tampil membawakan kisah dari berbagai sudut Kalimantan Tengah: tentang manusia yang melawan keserakahan, tentang alam yang marah karena dilukai, hingga tentang kebaikan hati yang selalu menang pada akhirnya.
“Cerita rakyat bukan hanya hiburan. Ia adalah jendela masa lalu, cermin masa kini, dan penuntun masa depan. Lewat cerita, anak-anak belajar nilai dan identitas,” tegas Benhur.
Membangun Jembatan Antargenerasi
Bagi Benhur, kegiatan ini bukan hanya membentuk keberanian, tetapi juga memperkuat akar budaya. Di tengah derasnya budaya luar yang membentuk pola pikir anak-anak hari ini, cerita lokal menjadi penyeimbang yang mengingatkan dari mana mereka berasal.
“Anak-anak yang gemar bertutur umumnya memiliki imajinasi yang luas dan empati tinggi. Mereka belajar tidak hanya mendengar, tapi juga memahami,” tambahnya.
Lebih dari Sekadar Piala
Yang paling membanggakan dari lomba ini bukanlah siapa juaranya, tapi keberanian setiap anak untuk berdiri, menyampaikan kisah, dan mencintai akar budayanya.
“Menang atau kalah bukan tujuan utama. Yang terpenting adalah proses dan pengalaman. Itu yang akan mereka kenang, bukan pialanya,” kata Benhur sambil tersenyum melihat anak-anak memeluk guru pendamping usai tampil.
Ia pun mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terus mendorong gerakan literasi, tidak hanya di ruang kelas, tetapi juga di rumah dan tempat-tempat umum.
“Literasi bukan hanya soal membaca dan menulis. Literasi adalah pondasi peradaban. Ia membentuk akal sehat, karakter, dan kemajuan,” pungkasnya.
Catatan Redaksi:
Lomba bertutur ini adalah gambaran kecil dari mimpi besar: membangun generasi yang tidak sekadar cerdas, tetapi juga berakar dan berakhlak. Di tengah riuhnya zaman, barangkali suara anak-anak bercerita di panggung inilah yang menjadi harapan masa depan.
(A1/Mc)