Tahura Kalteng: Harapan Terakhir Jantung Hijau di Tengah Ancaman dan Harapan

Senin, 16 Juni 2025 10:54 WIB - Dilihat: 512

IMG-20250616-WA0048

PALANGKA RAYA – Seputarkalimantan.id

Di tengah masifnya pembukaan lahan dan kian menyempitnya ruang hidup satwa liar, Kalimantan Tengah menyisakan satu harapan: Taman Hutan Raya (Tahura), kawasan konservasi yang bukan hanya menyimpan oksigen, tapi juga harapan.

Namun, siapa sangka, luas kawasan konservasi yang benar-benar dikelola oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah hanya sekitar 58.113 hektar, jumlah yang terlihat besar di peta, tapi nyatanya begitu rentan di lapangan. Selebihnya, seperti Taman Nasional Sebangau, Tanjung Puting, dan sejumlah Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, dikelola langsung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui UPT pusat.

“Kita di provinsi ini fokus mengelola Tahura. Yang lainnya seperti Sebangau, itu unik karena punya air hitam dan jadi rumah bagi Orangutan liar. Tapi itu di bawah pengelolaan pusat,” ungkap Fritno, S.Hut, Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Dinas Kehutanan Kalteng saat ditemui Wartawan Seputarkalimantan.id, Senin (16/6/2025), diruang kerja nya.

 

Ketika Hutan Tak Lagi Sunyi

Konservasi bukan berarti sunyi dari manusia. Dalam sistem zonasi yang diterapkan, masyarakat justru diberi ruang: zona pemanfaatan, zona penyangga, hingga zona inti yang benar-benar dilindungi.

“Jadi bukan melarang sepenuhnya. Kalau masyarakat ingin meneliti, berwisata, atau kegiatan edukatif lainnya, bisa. Tapi harus dengan izin resmi, lewat Surat Izin Memasuki Kawasan Konservasi (SIMAKSI),” jelas Fritno.

Lebih dari sekadar pepohonan, kawasan konservasi adalah arena tarik-menarik antara ekonomi, budaya lokal, dan ekosistem. Dan di sanalah tantangan terberat muncul.

 

Perambahan dan Api yang Tak Pernah Jera

Masih banyak masyarakat adat dan lokal yang secara turun-temurun tinggal di sekitar kawasan konservasi. Ketergantungan mereka terhadap hutan sangat tinggi. Di sisi lain, perambahan, kebakaran, dan pembukaan lahan terus menghantui.

“Masalah kita bukan hanya soal pengawasan yang terbatas, tapi juga soal mengubah pola pikir masyarakat. Dan itu tidak bisa satu-dua kali sosialisasi,” tegasnya.

Patroli rutin, pendampingan masyarakat, hingga pembagian bibit pohon gratis adalah langkah kecil yang terus dilakukan. Tapi Dinas Kehutanan sadar, semua itu tak cukup tanpa kesadaran kolektif.

 

Antara Harapan dan Tantangan

Tahura, kawasan konservasi yang kini jadi pusat perhatian Pemprov Kalteng, tak hanya disiapkan untuk melindungi flora dan fauna, tapi juga sebagai pusat edukasi dan ekonomi berbasis hasil hutan.

“Bayangkan hutan kota yang bisa jadi tempat belajar anak sekolah, tempat wisata, dan sumber ekonomi keluarga. Kita mulai dorong itu. Kita ingin masyarakat tak lagi melihat hutan sebagai sumber kayu semata, tapi sebagai investasi masa depan,” kata Fritno penuh harap.

 

Akses Data Masih Terbuka, Tapi Harus Sesuai Jalur

Untuk media atau komunitas yang ingin mengakses peta kawasan konservasi, pemerintah membuka jalur resmi. Semua data batas kawasan bisa diakses melalui Kementerian Kehutanan atau mengajukan permohonan ke BPKH.

“Kami terbuka, selama tujuannya edukatif dan sesuai regulasi. Karena kawasan ini bukan hanya milik pemerintah, tapi milik semua generasi,” ujar Fritno.

 

Pesan untuk Warga dan Media

Menutup perbincangan, Fritno menitipkan pesan penting: kawasan konservasi bukan ruang kosong. Ia hidup, bernapas, dan sangat bergantung pada manusia yang menjaganya atau menghancurkannya.

“Kami harap masyarakat, pelaku usaha, pemerintah, dan terutama media, bisa jadi garda terdepan. Bukan hanya melaporkan kerusakan, tapi juga mengangkat cerita baik tentang konservasi. Media adalah jembatan antara kebijakan dan kesadaran publik,” pungkasnya.

(Riduan/A1)

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini