Sabtu, 12 Juli 2025 08:46 WIB - Dilihat: 1276
PALANGKA RAYA – Seputarkalimantan.id
Ketua Umum Perhimpunan Intelektual Dayak Indonesia (PIDI), Dr. Sontoe, Bj.H.D., S.Pd., M.Si, menyatakan sikap tegas menolak program Transmigrasi Nasional 2025–2029 yang akan diterapkan di wilayah Kalimantan Tengah. Penolakan ini ditegaskan melalui wawancara pada Jumat (11/7/2025), serta diperkuat dalam pernyataan resmi tertulis yang diterima redaksi.
Menurutnya, kebijakan transmigrasi dari luar Pulau Kalimantan ke Bumi Tambun Bungai berpotensi besar merusak tatanan sosial, memperparah ketimpangan penguasaan tanah, dan mengancam eksistensi masyarakat adat Dayak yang sejak lama hidup dalam keterbatasan serta minim perhatian negara.
“Program transmigrasi ini jangan sampai menjadikan masyarakat Dayak sebagai penonton di tanahnya sendiri. Transmigrasi boleh saja dijalankan, tapi untuk masyarakat lokal, bukan dari luar pulau,” tegas Sontoe.
Ia menyebut, masyarakat lokal dan adat di Kalimantan Tengah sampai saat ini belum sepenuhnya diberikan ruang oleh negara untuk bangkit dari ketertinggalan. Alih-alih diberdayakan, hak-hak masyarakat Dayak justru semakin terdesak akibat arus urbanisasi, investasi skala besar, dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak berpihak kepada penduduk asli.
Transmigrasi Dinilai Langgar Sejarah dan Hak Konstitusional Dayak
Sontoe juga menekankan bahwa transmigrasi nasional telah berlangsung sejak 1970-an dan menyisakan banyak persoalan, mulai dari ketimpangan penguasaan tanah, rusaknya lingkungan, hingga hilangnya akses masyarakat Dayak terhadap tanah adat dan hutan leluhur.
“Pemerintah tidak bisa terus memaksakan kehendaknya. Sebelum Republik Indonesia ada, suku Dayak sudah lama mendiami Kalimantan dan menyatu dengan hutan. Tanah dan hutan adat itu harus dikembalikan. Jangan rampas lagi,” ucapnya lantang.
PIDI menyerukan agar pemerintah pusat membuka ruang dialog terbuka dengan tokoh-tokoh masyarakat Dayak sebelum mengambil keputusan strategis yang berdampak besar bagi sosial budaya dan masa depan Kalimantan Tengah.
Prioritaskan Transmigrasi Lokal dan Pembangunan Desa
Daripada memaksakan transmigrasi dari luar, Sontoe mendorong agar pemerintah fokus pada transmigrasi lokal yang memberdayakan warga Dayak sendiri. Ia menilai hal ini sejalan dengan visi Gubernur Kalimantan Tengah dalam membangun desa dan meningkatkan kemandirian masyarakat lokal.
“Negara harus hadir untuk membangun sumber daya lokal dulu. Bukan malah mendatangkan pendatang dan membiarkan masyarakat asli tetap dalam kemiskinan,” kata Sontoe.
80 Persen Sumber Daya Disetor ke Pusat, Tapi Masyarakat Lokal Terabaikan
Dalam data PIDI, sekitar 80 persen hasil hutan, perkebunan, dan pertambangan Kalimantan Tengah disetor ke pusat, sementara masyarakat adat masih bergelut dengan kemiskinan, keterbatasan lahan pekarangan, serta minim akses pendidikan dan kesehatan.
“Negara harus adil dan membuka ruang partisipasi masyarakat lokal dalam penataan ruang, perencanaan pembangunan, hingga transmigrasi,” tambahnya.
Sebagai penutup, Sontoe menyampaikan harapannya agar Presiden RI dan kementerian terkait tidak mengabaikan suara masyarakat adat Dayak.
“Kami tidak anti pembangunan. Tapi harus adil, manusiawi, dan menghormati hak masyarakat lokal. Kalau transmigrasi terus dipaksakan tanpa melibatkan kami, kami akan menolak sepenuhnya.”
(A1)