Pendidikan Gratis, Tapi Nyatanya Masih Mahal: Putusan MK yang Mengguncang dan Harus Dikawal!

Rabu, 28 Mei 2025 12:51 WIB - Dilihat: 224

IMG_20250528_133848

Palangka Raya – Seputarkalimantan.id

Hari Selasa (27/5/2025) menjadi titik balik penting dalam sejarah pendidikan Indonesia. Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengeluarkan putusan monumental atas perkara nomor 3/PUU-XXII/2024: Negara dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar tanpa pungutan—baik di sekolah negeri maupun swasta.

Seketika, kabar ini menyebar seperti angin perubahan. Tapi di balik kabar baik ini, tersimpan kenyataan getir yang tak bisa diabaikan: bisakah putusan ini benar-benar dijalankan di lapangan?

Suaranya datang dari tokoh nasional asal Kalimantan Tengah, Dr. Agustin Teras Narang, S.H. Dalam Akun Media Sosial nya ia menyebut putusan MK ini sebagai hadiah bagi rakyat, khususnya para pendiri sekolah swasta yang selama ini bertahan dengan keringat dan air mata. Mereka tak sekadar membangun gedung, tapi menopang harapan dan masa depan ribuan anak bangsa di tempat-tempat yang jauh dari pusat pembangunan.

“Banyak sekolah swasta di pelosok berdiri dengan semangat gotong royong masyarakat. Mereka bertahan dalam keterbatasan, dan hari ini perjuangan itu seolah diakui negara lewat putusan MK,” ujar Teras, Rabu (28/5/2025).

Namun, ia mengingatkan: di balik harapan besar ini, tersimpan risiko besar pula. Tak sedikit sekolah swasta yang sudah berada di ambang penutupan akibat keterbatasan anggaran. Jika negara tak segera bertindak, maka putusan ini bisa menjadi pedang bermata dua—yang alih-alih menyelamatkan, justru bisa menyingkirkan lembaga pendidikan swasta dari peta.

Dan fakta yang lebih menyayat? Pemerintah daerah ternyata belum siap!

Data dari Kementerian Dalam Negeri menunjukkan, dari 546 daerah se-Indonesia, 493 daerah masih bergantung pada dana transfer dari pusat. Itu berarti, mayoritas daerah belum punya kekuatan fiskal untuk menanggung beban baru dari putusan MK ini.

“Kondisi fiskal daerah yang lemah adalah tantangan nyata. Pemerintah pusat dan daerah harus segera duduk bersama, menyusun kerangka kebijakan yang adil dan aplikatif,” tegas Teras.

Ia menyoroti ironi besar yang selama ini terjadi: meski sekolah negeri diklaim gratis, pungutan liar masih marak terjadi dalam bentuk yang tersamar. Dari iuran komite, seragam, hingga ‘sumbangan sukarela’ yang mengikat.

“Sudah saatnya kita berhenti membohongi publik dengan kata ‘gratis’ jika di lapangan masih ada biaya tersembunyi. Putusan MK ini adalah cambuk. Apakah kita sungguh ingin mencerdaskan kehidupan bangsa atau hanya sekadar mengejar target anggaran?” sindirnya tajam.

Lebih dari sekadar biaya, Teras mengajak semua pihak untuk kembali pada roh pendidikan: keadilan, keberpihakan, dan kemajuan bangsa. Ia menekankan pentingnya pengelolaan anggaran pendidikan yang bukan hanya mematuhi angka 20 persen, tapi benar-benar menyentuh kualitas.

“Anggaran besar tak akan berarti jika salah urus. Saatnya setiap rupiah benar-benar mengangkat mutu, bukan jadi sumber pemborosan yang memalukan.”

Putusan MK ini adalah harapan. Tapi juga peringatan. Sebuah sinyal bahwa waktunya rakyat bangkit mengawal pendidikan!

Dan Teras Narang pun menutup pernyataannya dengan seruan yang membakar semangat:

“Mari kita jaga dan kawal bersama putusan ini. Jangan biarkan janji pendidikan tanpa pungutan hanya menjadi retorika. Biarlah ia menjadi kenyataan yang hidup, hadir di ruang kelas, dan menyapa wajah anak-anak Indonesia—dari kota hingga pelosok.”

(A1)

 

Sumber : FB Dr. Agustin Teras Narang , SH

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini