Tak Tersentuh Bantuan Pemerintah, Kepala Adat Desa Kaliwai Ambil Inisiatif Lindungi Warga dan Tegur Penambang Emas Liar

Minggu, 22 Juni 2025 12:24 WIB - Dilihat: 172

IMG_20250622_120712

Kutai Barat – Seputarkalimantan.id

Minimnya perhatian pemerintah terhadap warga miskin, lansia, dan janda tua di Desa Kaliwai, Kecamatan Long Iram, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur, mendorong Kepala Adat setempat mengambil langkah tegas. Dalam kondisi desa yang dikepung aktivitas tambang emas liar, Kepala Adat Monika Linggit bersama suaminya Antonius Halui memilih bertindak demi menjaga kelangsungan hidup masyarakat adat yang selama ini tak tersentuh bantuan negara.

Langkah tersebut dilakukan melalui koordinasi dengan Kepala Desa Kaliwai, Camat Long Iram, Polsek, Babinsa, hingga RT dan BPK desa. Kepala Adat mengusulkan agar para pelaku tambang emas tradisional (penyedot emas) dikenakan pungutan sukarela guna membantu masyarakat rentan yang tidak mendapatkan bantuan resmi dari pemerintah.

“Kami tidak ingin warga kami terus menunggu bantuan yang tidak datang. Maka kami ajak semua unsur desa untuk memikirkan solusi lokal. Salah satunya pungutan dari pelaku usaha tambang sedot emas untuk membantu jompo, janda lansia, dan warga miskin,” ujar Monika Linggit saat dikonfirmasi Biro Seputarkalimantan.id, Jumat (21/6/2025).

Namun di balik niat baik tersebut, Kepala Adat menyampaikan kekhawatiran yang kian besar. Aktivitas para penyedot emas di Sungai Mahakam dilakukan secara semena-mena, bahkan disebut mengganggu akses umum jalur sungai. Tali-tali penyedot membentang liar di perairan, membahayakan perahu kecil, speedboat, hingga ponton yang melintas setiap hari.

“Ini bukan sekadar tambang liar. Mereka sudah menguasai alur sungai umum. Kalau dibiarkan bisa sebabkan kecelakaan dan gangguan arus transportasi,” tegas Monika.

Ia menyebut praktik tersebut bisa dijerat dengan pasal pidana, termasuk Pasal 192 KUHP tentang menghalangi akses darat dan laut, serta pelanggaran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang jalan dan transportasi publik.

Lebih jauh, Monika mengungkap adanya kesepakatan awal dengan para pemilik tambang emas bahwa setiap unit penyedot hanya boleh membawa enam orang dari luar daerah (Kalimantan Tengah), sedangkan tenaga kerja selebihnya wajib melibatkan warga Kaliwai. Sayangnya, kesepakatan itu kini dilanggar.

“Warga lokal makin tersingkir. Mereka (pemilik sedot) lebih banyak bawa keluarga dari luar. Masyarakat kami mundur pelan-pelan karena tidak mau konflik,” ungkap suaminya, Antonius Halui.

Setoran pertama dari sekitar 20 unit sedot emas menghasilkan dana sekitar Rp250 juta lebih. Namun Kepala Adat menegaskan, setoran berikutnya hanya boleh dilakukan jika ada keterbukaan dan musyawarah dengan seluruh pekerja, khususnya masyarakat lokal.

“Tidak boleh lagi ada permainan di balik layar. Setiap kali panen emas (manapas), harus transparan. Karyawan dari desa berhak tahu berapa hasilnya, berapa berat timbangan, dan berapa harga emasnya,” tegas Monika.

Jika tuntutan keterbukaan dan kesepakatan bersama ini tidak dipenuhi, Kepala Adat menyatakan tidak segan mencabut izin adat terhadap aktivitas tambang tersebut. Terutama bagi pelaku yang tetap memasang alat di jalur umum sungai.

“Saya tidak setuju Sungai Mahakam dijadikan milik pribadi para penambang. Kalau mereka masih melanggar arus lalu lintas sungai, jangan salahkan kalau nanti kami tidak izinkan lagi mereka bekerja di wilayah adat kami,” pungkasnya.

(Acar/Red)

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini