Kamis, 21 Agustus 2025 08:59 WIB - Dilihat: 741
Palangka Raya – Seputarkalimantan.id
Persoalan sengketa lahan antara Kelompok Tani Lewu Taheta dan Kelompok Tani Jadi Makmur Trans Kalampangan kembali memanas. Menurut Penerima kuasa pendamping Kelompok Tani Lewu Taheta, Men Gumpul, konflik ini bermula pada Februari 2023 ketika sekelompok masyarakat datang kepadanya untuk mengadukan lahan mereka yang diklaim oleh pihak lain.
“Kelompok tani Lewu Taheta melaporkan bahwa lahan mereka diklaim oleh Kelompok H.S. yang menggunakan Kelompok Tani Jadi Makmur Trans Kalampangan, diketuai Pak Cipto,” ujar Men Gumpul kepada Seputarkalimantan.id, Rabu (20/8/2025).
Awalnya, klaim lahan oleh Kelompok Jadi Makmur mencapai 1.750 hektar, namun dikurangi menjadi 850 hektar. “Berdasarkan peta wilayah kerja yang diterbitkan pada 2020, klaim mereka justru lebih luas, panjangnya 5.000 meter dan lebarnya 4.200 meter, sehingga totalnya 2.100 hektar,” jelas Men Gumpul.
Kasus ini sempat dikaitkan dengan terpidana Alpian Angai Salman, yang divonis 3 tahun 6 bulan karena menggunakan surat palsu (Pasal 263 ayat 2 KUHP). Namun, menurut Men Gumpul, kasus pidana Alpian tidak ada kaitannya dengan sengketa perdata terkait lahan. “Putusan pidana itu jelas-jelas berbeda konteks dengan lahan yang diklaim oleh Kelompok Jadi Makmur. Tapi mereka tetap ingin mengeksekusi lahan itu, padahal lahan tersebut bukan lahan transmigrasi,” ujarnya.
Men Gumpul menegaskan, lahan yang dikuasai oleh Lewu Taheta sebenarnya adalah tanah negara yang pada 2016–2018 masih berupa hutan belantara. “Ketika mereka menggarap, langsung ada bukti fisik penguasaan seperti tanaman, rumah, dan aktivitas masyarakat. Sedangkan klaim pihak lain dari 1997 tidak terbukti,” katanya.
Produksi andalan Kelompok Tani Lewu Taheta adalah buah naga, dengan lokasi lahan berjarak lebih dari 1,6 kilometer dari Kelurahan Kalampangan. Lahan itu berada di sebelah selatan kanal eks PLG, yang menjadi batas wilayah Kelurahan Sabaru dan Kalampangan.
Sengketa ini berlanjut ke ranah hukum. Kelompok H.S. melaporkan Ketua Kelompok Tani Lewu Taheta ke Polda Kalteng atas dugaan membuat dan menggunakan surat palsu (Pasal 263 ayat 1 dan 2 KUHP). Namun, penyidikan awal ditolak Kejaksaan Tinggi karena alat bukti tidak cukup. “Penyidikan ulang masih berlangsung, termasuk pemeriksaan Ketua Kelompok Tani dan dokumen resmi dari Kelurahan Sabaru,” ujar Men Gumpul.
Men Gumpul juga menyoroti dugaan tekanan terhadap klien nya . “Dariyana, ketua kelompok tani Lewu taheta , mendapat ancaman agar menyerahkan tanah kepada pelapor. Oknum Penyidik bahkan menyatakan jika tidak menyerahkan, bisa dijadikan tersangka,” ungkapnya.
Menurut Men Gumpul, surat-surat yang digunakan masyarakat Lewu Taheta sah dan sesuai prosedur: diterbitkan Kelurahan Sabaru, ditandatangani pemohon, RT, Lurah, dan Camat, serta teregister di Kelurahan dan Kecamatan.
Sementara itu, Seputarkalimantan.id telah menghubungi dan berusaha mewawancarai secara tertulis H.S., Plt Kepala Dinas Perhubungan Kota Palangka Raya yang namanya disebut dalam sengketa lahan ini, untuk mendapatkan klarifikasi. Namun hingga berita ini diterbitkan, H.S. tidak memberikan jawaban substansial atas pertanyaan yang diajukan. Ia hanya menyampaikan telah berkonsultasi dengan Ketua salah satu organisasi wartawan berinisial (J) di kalteng dan mengaku mengenal sejumlah wartawan senior, dan mengaku sebelum jadi PNS pernah menjadi seorang wartawan tanpa menanggapi isi pertanyaan terkait lahan.
Kasus ini akhirnya menimbulkan pertanyaan publik tentang netralitas aparat penegak hukum serta perlindungan hak masyarakat atas tanah negara yang telah mereka kuasai secara fisik maupun administratif.
(A1)