Sabtu, 19 Juli 2025 07:39 WIB - Dilihat: 47
Kabut pagi masih menggantung rendah di atas Sungai Kahayan. Di antara aliran yang tenang itu, sebuah perahu kayu kecil bergoyang pelan.
Atapnya dari terpal tambal-sulam, tiangnya sudah berlumut, dan di dalamnya duduk seorang anak lelaki berusia lima belas tahun bernama Tulai.
Tulai membuka matanya perlahan. Udara sungai menggigit tulang, tapi ia sudah terbiasa. Ia menggeliat, lalu melipat kain tipis yang jadi selimutnya.
Sarapannya sederhana—sisa nasi semalam dengan garam dan sedikit minyak kelapa. Hanya cukup untuk memberinya tenaga menjala ikan pagi ini.
Ia menatap dinding perahu yang diberi kalender robek, bekas pemberian warung tahun lalu.
Tanggalnya sudah ia lingkari dengan arang. Besok 19 Juli. Ulang tahunnya. Tapi seperti tahun-tahun sebelumnya, tidak ada yang merayakan, tidak ada yang mengingat.
Bahkan Tulai sendiri hampir melupakannya, kalau bukan karena tulisan samar itu di kalender.
Ia mengambil jala dan mulai mendayung pelan ke muara, menghindari arus deras dan batang-batang kayu yang mengambang.
Di benaknya, ulang tahun bukanlah hari istimewa. Ia hanya berharap hari ini tangkapannya cukup banyak untuk dibawa ke pasar sore.
Siang itu, di bagian sungai yang lebih tenang, Tulai bertemu dengan seorang anak lelaki yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Anak itu berkulit lebih cerah, memakai rompi pelampung merah cerah, dan membawa kamera kecil di lehernya.
“Hai! Kamu yang namanya Tulai, ya?” sapa anak itu riang. “Aku Janu. Aku dari kota. Lagi ikut ayahku, dia peneliti sungai.”
Tulai mengangguk kaku. Ia jarang bicara dengan orang luar.
“Aku dengar dari ibu warung… katanya besok hari ulang tahunmu?” tanya Janu, sembari duduk di tepi dermaga kayu tempat mereka bertemu.
Tulai tak menjawab. Ia hanya menatap permukaan air yang memantulkan langit keruh. Ia tak ingin membahas ulang tahun.
Untuk apa? Ia bahkan tak punya cukup uang untuk membeli garam seberat satu kilo, apalagi lilin dan kue.
Malam pun turun. Angin menyusup masuk lewat celah-celah papan perahunya. Tulai menggulung tubuhnya, tapi tak bisa tidur.
Bayangan masa kecilnya berkelebat: saat ibunya dulu pernah menyanyikan lagu ulang tahun dengan suara serak, sambil menyalakan lilin dari damar yang baunya tajam.Tapi semua itu tinggal kenangan.
Kini, ia hidup sendiri. Kakeknya telah meninggal baru meninggal dua minggu yang lalu karena batuk panjang yang tak pernah sempat diperiksa ke puskesmas.
Tulai memejamkan mata, berharap esok hari sungai lebih ramah.
Tapi sungai hari itu justru lebih keruh dari biasanya. Airnya menghitam, limbah dari tambang pasir tak jauh dari hulu mulai tampak jelas. Ikan-ikan sulit ditangkap.
Jala Tulai kosong tiga kali dilempar. Matahari makin tinggi, tapi harapan seperti merendah.
Di pasar sore, hasil tangkapannya hanya cukup ditukar dengan beras satu bungkus dan minyak goreng satu botol kecil.
Saat ia berjalan pulang menyusuri dermaga, ia melihat sebuah perahu cepat bersandar didekatnya.
Ia juga merasa mengenali seorang anak laki-laki yang sedang meniup lilin kecil di atas perahu itu. Ada kue. Ada suara tawa.
Tulai berhenti sejenak, menatap dari kejauhan. Lalu pergi diam-diam. Ia tidak iri. Ia hanya merasa kosong.
Malam itu, ia makan nasi dengan garam. Lalu duduk di pojok perahunya, menatap langit yang mendung. Hujan mulai turun.
Bocor dari atap perahu membuat genangan kecil di lantai. Tapi Tulai terlalu letih untuk marah. Ia hanya menarik kakinya, bersandar, dan tertidur.
Keesokan paginya, ia bangun lebih awal dari biasa. Air hujan masih tertinggal di sela lantai.
Saat ia mengangkat papan lantai untuk mengeringkannya, matanya tertumbuk pada sebuah kaleng kecil yang tertutup debu dan jaring laba-laba.
Ia buka pelan. Di dalamnya, ada secarik kertas lusuh. Tulisan tangan yang ia kenal betul.
Tulisan kakeknya.
Tangannya gemetar saat membacanya.
Tulai, jika suatu hari kau menemukan surat ini, itu berarti kau telah cukup kuat untuk bertahan sendiri.
Hidup di sungai tidak mudah, tapi air yang mengalir akan selalu mencari jalan.
Jangan malu lahir dari perahu tua atau jala yang bolong.
Kau tidak kalah dari siapa pun.
Tetap mendayung. Tetap bermimpi, meski tak ada yang merayakanmu.
Karena dunia pun kadang lupa pada anak-anak yang tumbuh di tepian. Tapi sungai ini tidak akan melupakanmu.
Tulai menunduk lama. Matanya panas. Air sungai mengalir pelan di bawah perahunya, seolah ikut mendengarkan isak kecil yang akhirnya pecah di dalam dada bocah lima belas tahun itu.
Hari ulang tahun itu memang tidak ada kue, tidak ada tepuk tangan, tidak ada lilin.
Tapi ia mendapat sesuatu yang lebih bermakna: suara dari orang yang paling ia rindukan, dan pengingat bahwa hidupnya bukan sekadar mengalir tanpa arah.
Sore harinya, Janu kembali datang ke perahunya.
“Bukankah hari ini ulang tahunmu? Mana kuenya? Mana perayaannya?” tanya Janu pelan.
Tulai hanya membalas pertanyaan itu dengan senyum tipis.
Seolah mengerti arti senyuman Tulai, Janu lalu memberanikan diri untuk duduk di sebelahnya.
Mereka memandangi sungai bersama. Tak ada yang bicara, tapi keheningan itu cukup hangat untuk membuat Tulai merasa: hari ini memang berbeda.
Bukan karena pesta. Tapi karena ia tahu, ia masih hidup. Masih bermimpi. Dan sungai belum menyerah padanya.
Biodata Penulis : Setya Riantama adalah Pekerja Hobby. Baginya menulis novel/cerpen, mencipta lagu, dan membaca grafik saham adalah cara berbeda untuk memaknai hidup.
Tulai lahir dari kerinduan pada kisah, akar, dan suara-suara yang hampir hilang di Kalimantan Tengah.