Sabtu, 12 Juli 2025 09:32 WIB - Dilihat: 243
Tulai lahir di atas sungai. Sejak kecil, ia tinggal di sebuah perahu rumah bersama Kakek Dandu,
seorang lelaki tua yang percaya sungai adalah urat nadi kehidupan. Mereka hidup dari menjala ikan, menukar hasil tangkapan di pasar desa, lalu berpindah mengikuti musim dan arus.
Hari-hari mereka sederhana. Namun, Tulai tidak pernah merasa kekurangan. Sungai adalah rumah, sekolah, dan pelindungnya. Kakeknya mengajarkan bahwa arus air mengajarkan dua hal:
kapan harus melawan, dan kapan harus mengalir.
Tapi semua berubah ketika sebuah tongkang batu bara pertama kali lewat di depan perahu mereka.
Gema mesinnya memekakkan telinga. Gelombangnya mengguncang perahu hingga hampir terbalik.
Tulai menatap tubuh besi raksasa itu dengan campuran takut dan marah.
Seumur hidupnya, belum pernah ada kapal sebesar itu lewat di sungai ini.
Kakek Dandu hanya berkata pendek, “Sungai ini mulai terganggu.”
Beberapa hari kemudian, mereka menepi ke Desa Luwuk Kapuas, tempat biasa mereka menjual ikan. Tapi suasana berubah.
Dermaga sepi, warung kopi tutup, dan di dinding rumah panggung terpasang papan-papan bertuliskan: “Lahan Ini Telah Dibebaskan”.
“Apa maksudnya, Kek?” tanya Tulai.
“Tanah sudah dijual. Mungkin demi jalan. Mungkin demi uang.”
Tulai berjalan sendirian ke balai desa. Di sana, ia melihat sosok yang sudah lama hanya hidup dalam cerita ibunya: Paman Yato.
Dulu, kata ibunya, Yato adalah seorang pejuang lingkungan. Tapi kini ia berdiri dengan rompi proyek, mengawasi alat berat yang mengikis tepi sungai.
Warga desa terbelah: sebagian menolak tambang, sebagian menerima “kompensasi”.
Dan Yato berdiri di tengahnya, tenang, seolah semuanya baik-baik saja.
“Dia pamanku?” tanya Tulai.
Kakek Dandu hanya mengangguk, wajahnya pahit. “Dulu dia berteriak membela hutan. Sekarang dia dibayar untuk menebangnya.”
Malam itu, Tulai melihat beberapa pemuda desa berkumpul diam-diam. Mereka memegang botol berisi bensin dan senter kecil.
Ia mengenali satu di antaranya yakni Bara, temannya saat kecil.
“Mereka akan membakar alat berat,” gumam Kakek yang mengintip dari balik jendela. “Tanda perlawanan. Tapi itu juga akan jadi alasan penangkapan.”
Dan benar saja. Esoknya, polisi datang. Bara dan dua lainnya ditangkap. Kamera wartawan menyorot wajah Pak Saring, ketua RT yang baru, yang menyebut mereka radikal perusuh proyek nasional.
Warga makin terpecah. Ada yang mendukung polisi, ada yang menyebut Bara pahlawan.
Pertemanan retak. Saudara tak saling sapa. Di warung kopi, bisik-bisik berubah menjadi saling tuding.
“Kalau terus begini, warga desa akan saling musuhan, Kek,” kata Tulai pada Kakek.
“Justru itulah yang mereka mau, Lai,” sahut Kakek. “Kalau kita pecah, tak ada yang bisa melawan bersama.”
Beberapa malam kemudian, Paman Yato mendatangi perahu Tulai.
“Aku tak ingin kamu ikut dalam konflik ini, Lai,” katanya. “Kamu masih anak-anak. Biarlah orang dewasa yang urus ini.”
“Tapi karena orang dewasa diam, jadi teman-temanku ditangkap,” balas Tulai.
Yato terdiam. Ia menatap sungai, lama.
“Aku pernah percaya bisa melawan sistem, Lai. Tapi idealisme tak bisa bayar sekolah anak-anakku, tak bisa sembuhkan ibunya.”
Tulai menunduk. Ia tahu Yato tidak sepenuhnya jahat. Tapi ia juga tahu: ada hal yang tidak bisa dibeli, yakni kebahagiaan orang yang kita sayangi.
Beberapa hari kemudian, Tulai menerima surat ancaman. Kertas kusut ditinggalkan di perahunya saat malam.
Isinya jelas:
“Aku tahu kamu melihat siapa saja yang membakar. Jika bicara, sungai takkan jadi rumahmu lagi.”
Kakek Dandu geram. Tapi Tulai hanya menatap surat itu lama, lalu membakarnya di atas lampu minyak.
“Apa kamu takut, Lai?” tanya Kakek.
Tulai menggeleng. “Aku cuma bingung, Kek.”
Malam itu, Tulai duduk di buritan perahu, menatap sungai yang gelap. Ia tahu Bara tak bersalah sepenuhnya, tapi ia juga tahu Bara bukan teroris.
Ia tahu pamannya pernah berjuang, tapi kini memilih diam karena beban hidup. Ia pun tahu desanya retak, bukan oleh tambang semata, tapi oleh rasa saling tidak percaya.
Dan ia juga tahu: sungai tidak butuh pahlawan. Ia hanya butuh penjaga.
Esok paginya, Tulai menulis pada secarik kertas.
Bukan untuk polisi, bukan untuk wartawan. Tapi untuk warga desanya.
Satu halaman kecil.
“Bapak ibu semua. Saya Tulai cucu semata wayang Kakek Dandu. Saya cuma mau bilang kalau kita tidak harus setuju pada keberadaan tambang, atau pada hutan-hutan yang ditebang karena pembukaan lahan.
Tapi saya cuma minta kita jangan saling menuduh. Karena kakek saya pernah bilang: saat sungai ini mati, kita semua akan tenggelam bersama-sama.”
Ia menempelkannya di tiang balai desa.
Beberapa orang membaca. Sebagian mengabaikan. Tapi malamnya, seseorang mengantarkan makanan ke perahu Tulai.
Keesokan harinya, seorang anak muda meletakkan jala ikan di dermaga, tanpa kata.
Tulai tidak tahu apakah semuanya akan berubah.
Tapi ia tahu: arus sudah mulai bergerak ke arah baru.
Dan ia akan tetap menjadi anak sungai, yang belajar kapan harus mengalir, dan kapan harus berdiri melawan.
Biodata Penulis :
Setya Riantama adalah seorang Pekerja Hobi, Full Time Trader, dan seorang musisi. Sekarang ia sibuk menjalani Slow Living di Kota Palangkaraya.