Minggu, 17 Agustus 2025 03:59 WIB - Dilihat: 1889
PALANGKA RAYA – Seputarkalimantan.id
Dugaan praktik penguasaan lahan secara tidak wajar oleh Hadi Suwandoyo, mantan Lurah Kalampangan yang kini menjabat Kabid sekaligus Plt. Kepala Dinas Perhubungan Kota Palangka Raya, mencuat dan menjadi sorotan publik. Hadi disebut-sebut menguasai hingga ratusan hektare tanah, sementara sebagian masyarakat adat Dayak masih kesulitan memperoleh lahan produktif.
Isu ini berawal dari keluhan warga Kalampangan yang mempertanyakan asal-usul kepemilikan tanah luas atas nama Hadi dan keluarganya. Mereka mendesak Inspektorat Kota Palangka Raya serta Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) segera turun tangan melakukan audit menyeluruh.
“Ini bukan sekadar penguasaan tanah, tapi sudah masuk indikasi mafia tanah. Ada konflik kepentingan yang harus diusut,” kata Men Gumpul, Ketua Kalteng Watch, Sabtu (16/8/2025).
Dugaan Penyalahgunaan Wewenang
Menurut Gumpul, dugaan keterlibatan pejabat dalam monopoli lahan berpotensi menabrak prinsip transparansi dan akuntabilitas pemerintahan. Meski tak lagi menjabat lurah, Hadi disebut masih mengendalikan lahan melalui istrinya yang saat ini menjabat Lurah Kalampangan selama dua periode.
Informasi yang beredar menyebutkan, transaksi jual beli tanah masih berlangsung hingga kini, bahkan disertai dugaan pembagian hasil kepada oknum pejabat tertentu.
Seorang warga Kalampangan yang enggan disebutkan namanya menuturkan, praktik tersebut sudah lama terjadi.
‘Saat masih menjabat lurah, dia memanfaatkan kewenangannya dalam penerbitan surat pernyataan penguasaan fisik tanah (SPT). Ada imbalan di balik setiap penerbitan,” ungkapnya.
Hadi juga dituding menjalin kerja sama dengan oknum Kantor Pertanahan Kota Palangka Raya. Sejumlah lahan yang semula berstatus pemekaran wilayah Kalampangan diduga beralih kepemilikan kepada dirinya dan keluarganya.
Kasus Lahan 850 Hektare di Sabaru
Salah satu kasus yang memicu protes besar adalah klaim kepemilikan atas 850 hektare lahan di Kelurahan Sabaru, Kecamatan Sabangau. Lahan tersebut sebelumnya dikelola sembilan kelompok masyarakat adat dan transmigran yang telah merawatnya selama puluhan tahun.
“Tanah itu bukan kosong. Ada kebun, tanaman, bahkan rumah tinggal. Tapi tiba-tiba diklaim sepihak oleh Hadi melalui kelompok tani Jadi Makmur,” kata seorang tokoh masyarakat Lewu Taheta, Sabaru.
Situasi ini menimbulkan kecemburuan sosial, terutama di kalangan masyarakat Dayak bantaran Sungai Kahayan mulai dari Bereng Bengkel, Kameloh, hingga Sabaru yang hingga kini masih banyak belum memiliki lahan legal di daratan.
“Organisasi masyarakat Dayak seolah lumpuh menghadapi manuver satu orang pejabat. Ini memalukan. Masyarakat Dayak asli justru kehilangan haknya,” ujar seorang warga dalam aksi penolakan klaim lahan di Sabaru.
Tuntutan Transparansi dan Penegakan Hukum
Kalteng Watch menilai, kasus ini menjadi ujian serius bagi pemerintah daerah dan aparat penegak hukum. Gumpul mendesak agar aparat tidak ragu menindak jika terbukti ada pelanggaran.
“Jika aparat diam, kesannya hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah. Kita butuh ketegasan, bukan kompromi dengan pelaku penyalahgunaan wewenang,” tegasnya.
Hingga berita ini diterbitkan, Inspektorat Kota Palangka Raya belum memberikan keterangan resmi terkait desakan audit. Kalteng Watch memastikan akan mengawal kasus ini dengan mengumpulkan bukti dan saksi untuk mendorong penyelidikan lebih lanjut oleh kejaksaan maupun kepolisian.
Kasus ini juga disebut sebagai momentum membangun tata kelola agraria yang adil, khususnya bagi masyarakat adat Dayak yang kerap tersisih dari akses terhadap tanah. Publik kini menanti, apakah pemerintah berani mengambil langkah tegas, atau justru membiarkan praktik mafia tanah terus berakar.
(A1)