Mereka Ingin Mengatur Hutan Tanpa Rakyat: Revisi UU Kehutanan dan Ancaman Nyata bagi Kalimantan

Jumat, 30 Mei 2025 11:32 WIB - Dilihat: 564

istockphoto-1252179166-612x612

Oleh Redaksi Seputarkalimantan.id

30 Mei 2025 | Investigasi

 

Revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah resmi masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI tahun 2025. Di balik penyusunan diam-diam itu, tersimpan kekhawatiran besar: penghapusan hak masyarakat adat, kriminalisasi petani hutan, dan eksploitasi ekologis yang kian brutal.

 

Negara Mengatur, Rakyat Terpinggirkan?

DPR RI diam-diam memasukkan revisi UU Kehutanan ke dalam Prolegnas Prioritas 2025. Agenda ini tampak normatif, namun bisa menjadi palu godam yang mengubah arah pengelolaan hutan Indonesia secara drastis.

Bagi masyarakat adat dan komunitas penjaga hutan di Kalimantan, ini adalah tanda bahaya. Mengapa? Karena jika revisi ini lolos tanpa pengawasan publik, maka kontrol negara terhadap jutaan hektare hutan bisa menjadi mutlak—dan masyarakat adat yang menjaga hutan selama turun-temurun justru terancam disingkirkan.

 

Kalimantan Tengah: Contoh Nyata Ketimpangan

Di Kalimantan Tengah, konflik lahan akibat klaim kawasan hutan negara sudah berlangsung lama. Banyak warga adat tinggal dan menggantungkan hidup di dalam hutan yang secara administratif dicap sebagai “hutan negara.” Tanpa bukti legal formal, keberadaan mereka dianggap ilegal. Bahkan beberapa di antaranya dikriminalisasi.

Isu ini disorot secara tajam dalam opini yang dipublikasikan oleh Mongabay Indonesia pada 29 Mei 2025, berjudul “Tolak Revisi Kehutanan yang Mengancam Keadilan Ekologis dan Hak Masyarakat”, ditulis oleh Muhammad Ichwan dan Sarah Agustio.

“Revisi UU Kehutanan berpotensi menghapus konsep keadilan ekologis dan memperkuat pendekatan negara yang eksploitatif terhadap hutan,” tulis mereka.

Lebih lanjut, mereka menjelaskan bahwa selama ini banyak izin konsesi yang dicabut tidak dikembalikan kepada masyarakat adat, melainkan disiapkan untuk investasi baru yang sering kali tidak melibatkan partisipasi lokal.

 

Hutan Dijual untuk Investasi?

Revisi UU ini tidak berdiri sendiri. Ia berjalan beriringan dengan proyek-proyek ambisius pemerintah seperti food estate, hilirisasi tambang, transisi energi hijau, hingga kawasan industri skala besar. Semua proyek itu membutuhkan lahan—dan sebagian besar lahan tersisa berada di wilayah hutan adat dan komunitas lokal.

“Selama ini, klaim kawasan hutan negara yang tidak pernah diselesaikan secara partisipatif telah menyebabkan kriminalisasi warga, pembatasan akses, dan pelanggaran hak asasi manusia,” tulis Ichwan dan Agustio lagi dalam Mongabay.

 

Siapa Mendapat Apa? Siapa Dikorbankan?

Pertanyaannya sederhana: siapa yang paling diuntungkan dari revisi ini, dan siapa yang paling dirugikan?

Hingga artikel ini diterbitkan, tidak ada penjelasan resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengenai bagaimana nasib masyarakat adat dalam draf revisi tersebut. DPR RI pun belum membuka draf secara publik. Padahal, transparansi adalah kewajiban dalam proses legislasi.

Jika hutan dipandang semata sebagai ruang ekonomi, bukan ruang hidup, maka revisi ini bisa menjadi legitimasi legal bagi pembukaan lahan besar-besaran yang mengorbankan hak-hak dasar masyarakat adat dan keberlangsungan ekosistem.

 

Redaksi Seputarkalimantan.id Bersikap

Kami menilai revisi UU Kehutanan ini harus dikawal secara ketat oleh publik, terutama masyarakat Kalimantan. Hutan bukan hanya tentang kayu atau karbon. Ia adalah tempat tinggal, sumber kehidupan, dan warisan leluhur.

Kami menolak segala bentuk regulasi yang dibuat tanpa partisipasi masyarakat yang terdampak langsung. Jangan biarkan hukum menjadi alat pembungkam dan penghancur ruang hidup rakyat.

 

Catatan Redaksi:

Artikel ini mengutip opini dari Mongabay.co.id yang ditulis oleh Muhammad Ichwan dan Sarah Agustio, dipublikasikan pada 29 Mei 2025. Redaksi Seputarkalimantan.id tidak mengubah konteks atau isi dari kutipan, dan menjaga integritas sumber asli. Kami membuka ruang hak jawab bagi pihak DPR RI, KLHK, maupun instansi lain yang ingin menyampaikan klarifikasi atau tanggapan resmi melalui email redaksi: Seputarkalimantan87@gmail.com.

Artikel Terkait

Rekomendasi

Berita Terkini

error: Content is protected !!